Posted by: Muhammad Anshor | February 2, 2012

Konsep Perencanaan Lanskap Dalam Penataan Zonasi Taman Nasional Dengan Pendekatan Flagship Species

Konsep Perencanaan Lanskap Dalam Penataan Zonasi Taman Nasional Dengan Pendekatan Flagship Species

 

Pendahuluan

Rencana lanskap Taman Nasional diwujudkan dalam bentuk penataan zonasi yaitu pengaturan ruang dalam taman nasional menjadi zona-zona dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat. Perencanaan kawasan konservasi sebagai lanskap harus memulainya dengan dasar tujuan pengelolaan yang telah ditetapkan, kemudian menetapkan kriteria bagi masing-masing zona. Zonasi ditentukan dengan menggunakan informasi terbaik yang tersedia serta keputusan ahli yang melibatkan tim perencanaan yang multidisiplin. Dalam konteks Taman Nasional tujuan perlindungan dan pengawetan keanekaragaman hayati menjadi prioritas utama dalam pengelolaannya sehingga pola penataan ruang dalam zonasi Taman Nasional lebih dekat pada pola perlindungan dan pengawetan suatu tumbuhan atau satwa di dalam lanskap. Dalam kenyataannya melindungi seluruh potensi keanekaragaman hayati yang ada di dalam kawasan taman nasional merupakan suatu hal yang sulit dilakukan. Adanya keterbatasan informasi keanekaragaman hayati yang ada dan kendala keterbatasan sumber daya manusia menyebabkan perlunya prioritas dalam perlindungan keanekaragaman hayati. Hal ini yang kemudian menjadi pertimbangan dalam kegiatan penataan zonasi taman nasional. Untuk itu perlu dilakukan suatu pendekatan dalam penataan zonasi, salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk menentukan kawasan prioritas perlindungan dan pengawetan keanekaragaman hayati sebagai arahan zonasi taman nasional adalah dengan menggunakan konsep Flagship Species. Dalam tulisan ini mencoba membahas penataan zonasi dengan pendekatan Flagship Species dalam rencanaan pengelolaan Taman Nasional Gunung Merapi sebagai sebuah lanskap.

Perencanaan Lanskap

Menurut Forman & Godron (1979), lanskap adalah suatu lahan heterogen dengan luasan tertentu yang terdiri dari sekelompok/kumpulan (cluster) ekosistem yang saling berinteraksi; kumpulan tersebut dapat ditemukan secara berulang dalam suatu wilayah dengan bentuk yang sama. Perencanaan lanskap merupakan suatu sistem perencanaan lingkungan spasial yang komprehensif. Pada saat ini perencanaan paling tidak ada tiga hal yang menjadi alasan perencanaan dilakukan pada skala lanskap, yaitu:

  1. Pada umumnya isu lingkungan dan pengelolaan sumber daya pada lahan dengan skala luas.
  2. Perkembangan konsep berkaitan dengan skala di bidang ekologi.
  3. Kemajuan teknologi yang memungkinkan analisis pada skala luas, misalnya GIS.

Secara konsep, perencanaan lanskap paling tidak mencakup dual hal, pertama secara struktural, komposisi dan konfigurasi suatu lanskap yang ada di dalamnya dan kedua adalah secara fungsional peran komponen-komponen di dalam suatu lanskap untuk mencipatakan ekosistem lanskap. Perencanaan lanskap harus difokuskan pada multi-functionality dari lanskap dengan menggunakan premis tataguna lahan yang berkelanjutan. Investigasi yang menjadi landasan dari perencanaan harus didasarkan atas pengetahuan tentang seluruh sumberdaya alam seperti tanah, air, udara (iklim), flora dan fauna, budaya dan sejarah, ekonomi dan komponen estetika dari lanskap sehingga dapat mengkaji keberlanjutan dari tataguna lahan saat ini dan yang diusulkan dalam hubungannya dengan kapasitas lingkungan dan harus mampu menentukan batas dan peluang bagi sistem interaksi manusia dan alam dalam konteks spasial (Parekesit, 2011).

Tujuan akhir perencanaan lanskap paling tidak ada dua hal, pertama, menciptakan lanskap yang multi fungsi: mampu menyediakan dan memelihara kondisi yang diperlukan untuk berbagai kepentingan (tujuan) baik untuk manusia maupun mahluk hidup lain. Kedua, preservasi elemen lanskap yang mempunyai nilai sejarah atau penciptaan elemen baru yang revolusioner (radikal) yang merupakan hasil perpaduan antara konsep tataguna lahan berkelanjutan dan kreasi (ide) dalam perancangan lanskap (Parekesit, 2011).

Zonasi Taman Nasional

Zonasi bisa bervariasi macamnya tergantung pada kebutuhan masing-masing taman nasional. Zona-zona tersebut diantaranya berupa zona pemanfaatan tradisional, zona rimba, zona rehabilitasi dan lain sebagainya. Pada dasarnya tidak ada suatu formula khusus untuk menentukan  zonasi (Philips, 2002 dalam KSDH UGM, 2008). Perencanaan kawasan konservasi harus memulainya dengan dasar tujuan pengelolaan yang telah ditetapkan, baru kemudian menetapkan kriteria bagi masing-masing zona. Zonasi ditentukan dengan menggunakan informasi terbaik yang tersedia serta keputusan ahli yang melibatkan tim perencanaan yang multidisiplin. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam penentuan zonasi menurut Philips, 2002 (dalam KSDH UGM, 2008) adalah sebagai berikut :

a)                  Perlindungan biodiversitas yang bernilai tinggi.

b)                  Batasan-batasan yang terkait dengan lanskap dan perbedaan ekologi, seperti kelerengan, jenis tanah, hidrologi, dan nilai lanskap.

c)                  Penyediaan ajang bagi pengunjung untuk mencari pengalaman yang bervariasi

d)                 Eliminasi atau minimasi  kegiatan dan pemanfaatan yang merusak sumberdaya yang ada di dalam kawasan .

e)                  Kapabilitas kawasan untuk mendukung berbagai macam keinginan pemanfaatan dan pembangunan.

f)                   Hasil  proses partisipasi atau konsultasi publik.

g)                  Kebijakan pemerintah yang terkait dengan penggunaan lahan

h)                  Pemanfaatan oleh masyarakat setempat yang telah ada.

Secara umum, kriteria yang digunakan dalam menentukan zonasi Taman Nasional adalah sebagai berikut :

  1. zona inti, yaitu : mempunyai keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa beserta ekosistemnya mewakili formasi biota tertentu dan atau unit-unit penyusunnya mempunyai kondisi alam, baik biota maupun fisiknya yang masih asli dan atau tidak atau belum diganggu manusia mempunyai luas yang cukup dan bentuk tertentu agar menunjang pengelolaan yang efektif dan menjamin berlangsungnya proses ekologis secara alami mempunyai ciri khas potensinya dan dapat merupakan contoh yang keberadaannya memerlukan upaya konservasi mempunyai komunitas tumbuhan dan atau satwa beserta ekosistemnya yang langka atau yang keberadaannya terancam punah.
  2. Kriteria zona rimba, yaitu : kawasan yang ditetapkan mampu mendukung upaya perkembangan dari jenis satwa yang perlu dilakukan upaya konservasi memiliki keanekaragaman jenis yang mampu menyangga pelestarian zona inti dan zona pemanfaatan merupakan tempat dan kehidupan bagi jenis satwa migran tertentu.
  3. Kriteria zona pemanfaatan, yaitu: mempunyai daya tarik alam berupa tumbuhan, satwa atau berupa formasi ekosistem tertentu serta formasi geologinya yang indah dan unik mempunyai luas yang cukup untuk menjamin kelestarian potensi dan daya tarik untuk dimanfaatkan bagi pariwisata dan rekreasi alam kondisi lingkungan di sekitarnya mendukung upaya pengembangan pariwisata alam.

Pendekatan Flagship Species Dalam Penataan Zonasi Taman Nasional

Melindungi seluruh potensi keanekaragaman hayati yang ada di dalam kawasan taman nasional merupakan suatu hal yang sulit dilakukan. Adanya keterbatasan informasi keanekaragaman hayati yang ada dan kendala keterbatasan sumber daya manusia menyebabkan perlunya prioritas dalam perlindungan keanekaragaman hayati. Hal ini yang kemudian menjadi pertimbangan dalam kegiatan penataan zonasi taman nasional. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk menentukan kawasan prioritas perlindungan dan pengawetan keanekaragaman hayati sebagai arahan zonasi taman nasional adalah dengan menggunakan konsep Flagship Species. Flagship Species atau spesies payung adalah suatu spesies yang jika dikonservasi akan memayungi atau melindungi juga spesies lain yang secara alami berada bersama-sama spesies tersebut (Fleisman et al, 2000 dalam KSDH UGM, 2008). Sementara Roberge & Angelstam, 2004 (dalam KSDH UGM, 2008) menerjemahkan sebagai suatu spesies yang jika dikonservasi akan melindungi sejumlah besar spesies lain yang secara alami berada bersama-sama dengan spesies payung tersebut (Indrawan, Primack & Supriatna. 2007, 2007). Spesies-spesies yang lain yang mendapat keuntungan dari dilindunginya Flagship Species disebut sebagai beneficiary species. Konsep Flagship Species merujuk ke kebutuhan luasan minimal wilayah untuk populasi suatu spesies yang berdaya jelajah luas (Wilcox, 1984 dalam KSDH UGM, 2008). Dengan alasan ini maka makhluk hidup yang berbadan besar mempunyai kecenderungan lebih favorit untuk menjadi Flagship Species. Spesies dalam katagori tersebut biasanya adalah vertebrata, terutama karnivora (Roberge & Angelstam, 2004 dalam KSDH UGM, 2008). Konsep Flagship Species dapat digunakan untuk menentukan ukuran minimal kawasan konservasi, memilih lokasi-lokasi yang dimasukkan dalam jaringan kawasan konservasi serta untuk mengatur standar minimal komposisi, struktur dan proses ekologi yang harus masuk dalam sebuah kawasan konservasi.     Konsep Flagship Species dibangun menggunakan dasar bahwa kebutuhan atau persyaratan hidup suatu spesies mewakili kebutuhan atau persyaratan hidup species-species lain yang ada disekitarnya. Dalam prakteknya ternyata hanya spesies-species yang kebutuhan hidupnya mirip dengan species payung sajalah yang ikut menikmati perlindungan ini. (Roberge & Angelstam, 2004 dalam KSDH UGM, 2008). Hanya spesies yang memiliki kebutuhan habitat yang serupa dengan Flagship Species-lah yang berpotensi sebagai beneficiary species (Suter et al, 2002 dalam KSDH UGM, 2008).

Pada Taman Nasional Gunung Merapi, yang dimaksud Flagship Species adalah Elang Jawa, dimana habitatnya menjadi arahan dalam menetukan penataan zonasi di Taman Nasional Gunung Merapi. Pendekatan yang digunakan dengan pemodelan kesesuaian habitat adalah dengan metode Spatial Multi Criteria Analysis (SMCA) dengan lebih dahulu menetukan kriteria atau parameter yang terkait dengan habitat Elang Jawa yaitu peutupan tajuk, ketinggian tempat, kelerengan, dan penggunaan lahan. Hasil dari analisis dari penelitian yang telah dilakukan (table dan peta terlampir), habitat potensial menunjukkan bahwa 11,34% luasan wilayah Taman Nasional Gunung Merapi merupakan habitat potensial Elang Jawa yang tinggi. Di lokasi tersebut memiliki tingkat kemungkinan perjumpaan dengan Elang Jawa paling besar dibandingkan dengan lokasi lainnya. Dengan data tersebut menjadi arahan dalam penataan zonasi Taman Nasional Gunung Merapi.

Sintesa

Secara konsep, perencanaan lanskap paling tidak mencakup dual hal, pertama secara struktural, komposisi dan konfigurasi suatu lanskap dan kedua secara fungsional peran komponen-komponen di dalam suatu lanskap untuk mencipatakan ekosistem lanskap. Dalam perencanaan lanskap Taman Nasional secara struktural, komposisi dan konfigurasi suatu lanskap diwujudkan dengan zonasi di dalam taman Nasional dalam bentuk pembagian ruang-ruang untuk mempermudah dalam implementasi proses rencanaan pengelolaan. Pendekatan Flagship Species dalam arahan penataan zonasi Taman Nasional mempermudah mengidentifikasi peran-peran secara fungsional komponen-komponen di dalam suatu lanskap dalam hal ini TNGM untuk mencipatakan suatu perencanaan pengelolaan dalan suatu ekosistem lanskap. Dari dua muatan konsep dasar perencanaan lanskap yang sudah masuk dalam muatan rencana pengelolaan Taman Nasional, diharapkan menjadi suatu proses rencanaan pengelolaan TNGM dengan pendekatan lanskap sebagai suatu ekosistem yang utuh dan berkelanjutan.

Daftar Pustaka

Indrawan, Primack & Supriatna. 2007. Biologi Konservasi. Edisi Revisi. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

KSDH UGM. 2008. Laporan Akhir Kaji Ulang Zona Inti Taman Nasional Alas Purwo. Yogyakarta: Jur. Konservasi Sumber Daya Hutan Fak. Kehutanan UGM.

TNGM, 2010. Laporan Monitoring Elang di Lereng Selatan Gunung Merapi Kawasan TNGM tahun 2010. Yogyakarta: TNGM Departemen Kehutanan RI.

TNGM. 2011. Laporan Penataan Zonasi TNGM Setelah Erupsi 2010. Yogyakarta: TNGM Kementerian Kehutanan RI

Lampiran Tabel

Tabel Luas kelas kerentanan Elang Jawa (Spizaetus bartelsi) di TNGM

Tingkat kerentanan

Luas (Ha)

Persentase luas

Rendah

3578,38

62,74

Sedang

1477,58

25,90

Tinggi

647,05

11,34

Sumber : Pengolahan data (2010)


Leave a comment

Categories